Gedung Pesantren Ar-Riyadh
Logo Arab Pesantren Ar-Riyadh Palembang

PESANTREN AR-RIYADH PALEMBANG

Pesantren Ar-Riyadh adalah salah satu Pondok Pesantren yang berada di tengah kota Palembang. Ponpes Arriyadh didirikan oleh Habib Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi pada tahun 1973. Ponpes Ar-Riyadh adalah salah satu Ponpes tertua di kota Palembang sehingga keberadaan ponpes Ar-Riyadh sudah tidak asing lagi di tengah-tengah masyarakat kota Palembang. Pembangunan Pesantren Ar-Riyadh juga mendapatkan bantuan dari kerajaan Arab Saudi melalui Menteri Agama Republik Indonesia.

Penamaan Ponpes Ar-Riyadh diambil dari salah satu Hadist Rasulullah S.A.W:

اِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا ,قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللَّهِ ,وَمَارِيَاضُ الْجَنَّةِ؟ قَالَ مَجَالِسُ الْعِلْمِ. وَفي الرِّوِايِة مَجَالِسُ الذِّكر
Nabi Muhammad ﷺ bersabda: Ketika kalian melewati taman-taman surga, maka singgahlah. Sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, apa taman-taman surga itu? Rasulullah menjawab: taman-taman surga itu adalah majelis-majelis ilmu, dan di dalam riwayat lain: majelis-majelis zikir.

Pendidikan di Pesantren Ar-Riyadh diberikan berdasarkan kurikulum Departemen Agama yang dipadukan dengan kurikulum internal Pondok Pesantren Ar-Riyadh. Gabungan dua kurikulum ini bertujuan untuk mencetak pelajar yang seimbang, baik dalam aspek keagamaan maupun pengetahuan umum. Selain pendidikan formal, Ponpes Ar-Riyadh juga memiliki berbagai kegiatan ekstrakurikuler, salah satunya adalah Dakwah Islamiyyah. Melalui kegiatan ini, para santri dibina untuk memiliki jiwa dakwah yang kuat. Maka tak heran, Pesantren Ar-Riyadh Palembang dikenal dengan julukan “Pesantren Dakwah” karena telah banyak melahirkan alumni yang berkualitas dan menjadi pendakwah hebat di berbagai daerah.

Santri-santri yang menuntut ilmu di Pesantren Ar-Riyadh tidak hanya berasal dari Kota Palembang, tetapi juga dari berbagai kota di luar Palembang seperti Jambi, Bangka, Bengkulu, dan lainnya. Bahkan, terdapat pula santri yang berasal dari luar provinsi, seperti dari Aceh dan Riau, serta beberapa santri yang datang dari luar negeri, seperti Malaysia dan Singapura. Hal ini menunjukkan bahwa Pesantren Ar-Riyadh memiliki daya tarik tersendiri dalam dunia pendidikan Islam, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Dalam rangka menunjang proses belajar-mengajar yang relevan dengan perkembangan zaman, Pesantren Ar-Riyadh juga memfasilitasi para santri dengan Lab Komputer yang dilengkapi perangkat-perangkat teknologi modern. Laboratorium ini menjadi wadah bagi para santri untuk mempelajari keterampilan digital, agar mereka tidak tertinggal dalam menghadapi era globalisasi yang serba canggih. Dengan demikian, para santri tidak hanya mendalami ilmu agama, tetapi juga mampu menguasai teknologi informasi dan komunikasi secara proporsional.

Pesantren Ar-Riyadh didirikan oleh Al-Habib Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi. Kepemimpinan pesantren ini pertama kali dipegang oleh Al-Ustadz Al-Habib Ahmad bin Abdullah Al-Habsyi selama 21 tahun, dari tahun 1973 hingga 1994. Selanjutnya, estafet kepemimpinan dilanjutkan oleh Al-Ustadz Al-Habib Alwi bin Abdullah Al-Habsyi selama 5 tahun, dari 1994 hingga 1999. Setelah itu, kepemimpinan diserahkan kepada Al-Habib Al-Ustadz Muhammad bin Abdullah Al-Habsyi yang memimpin selama 9 tahun, dari tahun 1999 hingga 2008. Sejak tahun 2008 hingga saat ini, Pesantren Ar-Riyadh dipimpin oleh Abuya Al-Habib Hamid bin Umar Al-Habsyi sebagai mudir keempat.

Dengan fondasi kuat yang dibangun oleh para pendiri dan penerusnya, Pesantren Ar-Riyadh terus berkembang menjadi lembaga pendidikan Islam yang unggul, berwawasan luas, dan berorientasi pada pembentukan karakter serta kecakapan santri dalam menghadapi tantangan zaman.

Biografi Pendiri & Para Mudir

Muassis / Pendiri

Al-habib As-Sayyid Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi
Al-habib As-Sayyid Al-Barakah
Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi
Di tepi Sungai Musi yang tenang, tepatnya di Kampung 13 Ulu, Palembang, lahirlah seorang anak yang kelak menjadi pelita bagi banyak jiwa, Habib Abdurrahman Al-Habsyi, putra dari pasangan mulia Habib Abdullah bin Aqil Al-Habsyi dan Hababah Zainah binti Muhammad Al-Haddad. Tahun 1310 H / 1890 M menjadi saksi hadirnya sosok yang akan mewarisi mata air ilmu, akhlak, dan cahaya dakwah.

Takdir membawanya kehilangan ayah di usia belia. Namun, justru dalam duka itulah tumbuh kekuatan: kasih sayang ibunda dan bimbingan saudara-saudara memupuk Habib Abdurrahman dalam lingkungan yang sarat nuansa religius. Ketika anak-anak lain masih belajar menyebut huruf, Habib Abdurrahman kecil telah duduk bersimpuh membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an, dibimbing oleh para guru terbaik kala itu, Habib Muhammad bin Hasyim bin Thohir dan Abdul Manaf Al-Qari.

Memasuki usia sepuluh tahun, satu keputusan besar mengubah arah hidup beliau. Atas anjuran sang kakek, Habib Ali bin Abdurrahman Al-Munawar, beliau dikirim jauh ke negeri leluhur: Hadramaut, Yaman. Beliau tidak sendiri; beliau berangkat bersama sekelompok pemuda berbakat lainnya, diantar oleh Habib Idrus bin Hasan Al-Habsyi. Mereka adalah putra-putra pilihan yang akan ditempa menjadi pewaris ilmu dan hikmah: Habib Aqil bin Ali Al-Munawar, Habib Umar bin Abdullah Assegaf, Habib Ahmad bin Hasan Al-Habsyi, Habib Muhammad bin Ahmad Shahab, dan Habib Muhammad bin Hamid Al-Hamid.

Di Hadramaut, takdir mempertemukan beliau dengan sosok agung nan bersinar, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, seorang waliyullah sekaligus penulis kitab maulid terkenal Simthuddurar. Di Rubath Seiwun, pesantren yang diasuh langsung oleh Habib Ali, Habib Abdurrahman tidak hanya menimba ilmu, tetapi juga meminum teladan adab dari mata airnya yang jernih. Beliau tinggal di kediaman gurunya, dan setiap hari mengabdi dengan penuh cinta. Bahkan, Habib Ali memercayai beliau sedemikian rupa, hingga mengizinkan beliau memakai kamar mandi pribadi milik sang guru, suatu kemuliaan yang tidak diberikan kepada sembarang murid.

Habib Abdurrahman adalah santri yang tidak hanya belajar dengan akal, tetapi juga dengan jiwa. Beliau menyiapkan handuk untuk gurunya setiap kali hendak mandi, lalu menyambutnya kembali usai digunakan. Semua itu beliau lakukan dengan hati yang tunduk dan penuh adab. Tak heran, Habib Ali selalu mendoakan beliau setiap hari.

Selain dari Habib Ali, beliau juga berguru kepada ulama besar lainnya, seperti Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthos. Di Rubath itu pula, beliau belajar bersama putra-putra Habib Ali—Habib Abdullah, Habib Muhammad, dan Habib Alwi, dan menjalin persaudaraan ilmu dengan rekan-rekan sejatinya, yang kelak menjadi ulama besar di zamannya.

Empat tahun berlalu di Hadramaut. Dengan izin sang kakek sekaligus guru, Habib Muhammad bin Abdurrahman Al-Munawar, beliau kembali ke tanah kelahiran: Palembang. Di kota ini, beliau total dalam khidmah kepada gurunya, menyebarkan ilmu dan memelihara nilai-nilai luhur yang diperoleh dari negeri para wali.

Lima tahun kemudian, arahan baru datang dari sang guru: kali ini untuk melanjutkan pengembaraan ilmu ke Betawi (Jakarta).

Di sela kesibukan membantu usaha keluarga mengelola perdagangan kayu besi, beras, dan karet milik sang kakek Habib Abdurrahman tetap istiqamah mengajar. Di madrasah-madrasah, beliau menjadi suluh ilmu, terutama dalam bidang bahasa Arab yang dikuasai secara mendalam.

Tak hanya mengajar, beliau juga membina relasi dengan ulama internasional seperti Syekh Muhammad Abduh dan Syekh Rasyid Ridha dari Mesir, serta mengikuti pemikiran-pemikiran progresif mereka. Di luar itu, beliau juga menguasai berbagai bahasa asing: Arab, Inggris, Belanda, hingga Persia, sebuah kecakapan yang memperluas wawasan dakwah beliau.

Pendidikan bagi beliau bukan sekadar kewajiban, melainkan amanah. Beliau mendidik anak dan cucu beliau sendiri, mempersiapkan mereka untuk meneruskan estafet dakwah Baginda Nabi ﷺ. Beberapa di antaranya beliau kirim ke pondok-pondok ternama di Jawa, seperti Ma’hadul Islami (Pekalongan), Darun Nasyi’in (Lawang), dan Darul Hadits (Malang). Bahkan ada pula yang beliau kirim menuntut ilmu hingga ke Tanah Suci, Makkah.

Cita-cita mulia beliau adalah mendirikan sebuah pondok pesantren yang menjadi pusat pendidikan dan dakwah. Mimpi itu terwujud pada tahun 1973, saat beliau berhasil meresmikan Pondok Pesantren Ar-Riyadh, sebuah lembaga pendidikan yang beliau bangun dengan hasil kerja keras dan biaya dari jerih payah beliau sendiri.

Setelah cita-cita beliau terwujud, berangkatlah beliau menunaikan ibadah Haji dan menetap di Tanah Suci selama 2 tahun. Beliaupun Wafat pada Selasa, 29 Rabi'ul Awwal 1401 H / 1984 M, dalam usia 94 Tahun.

Mudir Pesantren

Al-Ustadz Al-Habib Ahmad bin Abdullah Al-Habsyi
Mudir Pertama
Al-Ustadz Al-Habib Ahmad bin Abdullah Al-Habsyi
1973–1994 (21 tahun)
Al-Ustadz Al-Habib Alwi bin Abdullah Al-Habsyi
Mudir Kedua
Al-Ustadz Al-Habib Alwi bin Abdullah Al-Habsyi
1994–1999 (5 tahun)
Al-Habib Al-Ustadz Muhammad bin Abdullah Al-Habsyi
Mudir Ketiga
Al-Habib Al-Ustadz Muhammad bin Abdullah Al-Habsyi
1999–2008 (9 tahun)
Abuya Al-Habib Hamid bin Umar Al-Habsyi
Mudir Keempat (sekarang)
Abuya Al-Habib Hamid bin Umar Al-Habsyi
2008–sekarang
Seorang ulama yang memiliki sanad keilmuan yang kuat, murid langsung dari As-Sayyid Abuya Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani di Mekkah, dikenal dengan keluasan ilmu dan peran dakwahnya. Sejak 2008 sampai sekarang, memimpin Ar-Riyadh meneruskan estafet keilmuan dan dakwah.

Dokumentasi Pesantren

Klik salah satu tahun ajaran untuk melihat kumpulan foto & video lengkap yang dikelompokkan berdasarkan acara dan kegiatan di website dokumentasi terpisah.

Formulir Pendaftaran Santri Baru

Kontak Pesantren

Nomor Kantor: 0711-517242
Pengurus Pondok (Ust. M. Fathur Rohman): +62 812-7942-2014
Alamat: Jl. KH. Azhari, 13 Ulu, Kec. Seberang Ulu II, Kota Palembang, Sumatera Selatan 30263